Umamah binti Al-Harits mewasiatkan kepada anak perempuannya ketika ia mengantarkan putrinya kepada suaminya. Umamah berkata, “Wahai putriku, wasiat ini seandainya ditinggalkan pastilah suamimu akan menjauh darimu. Wasiat ini adalah peringatan bagi yang lalai dan pengingat bagi yang berakal.
Wahai putriku, seandainya perempuan itu tidak perlu keluar, hendaknya tidak keluar dari rumahnya karena kedua orang tuanya sangat membutuhkannya. Dan aku adalah orang yang paling tidak pernah keluar rumah. Namun, perempuan itu diciptakan untuk laki-laki, dan laki-laki diciptakan untuk perempuan.
Wahai putriku, sesungguhnya engkau telah berpisah dari penjagaan kedua orang tuamu, engkau telah meninggalkan gubuk tempat tinggal menuju istana yang belum engkau ketahui dan seorang pendamping yang belum engkau kenal. Maka jadikanlah, ia seorang raja bagi dirimu, dan jadikanlah dirimu seorang budak untuknya.
Jagalah lima perkara pada dirinya, maka ia akan menjadi simpanan pahala untukmu:
Pertama, Dampingi suamimu dengan sikap qana’ah dan bergaulah dengannya dengan ketaatan yang baik. Karena didalam qana’ah itu terdapat ketenangan hati dan didalam pergaulan yang baik terdapat keridhaan dari Rabbmu.
Kedua, Jagalah penampilan dan aroma tubuhmu. Jangan sampai kedua matanya mendapatimu dalam penampilan yang tidak sedap dipandang, dan jangan pula ia mencium aroma tubuhmu kecuali dalam keadaan harum semerbak.
Ketiga, Jagalah waktu makan dan tidurnya. Karena rasa lapar itu dapat membakar hati, dan kurang tidur itu dapat menyulut amarah.
Keempat, Jagalah hartanya dengan pembelanjaan yang baik dan uruslah kerabat serta keluarganya dengan pengurusan yang baik.
Kelima, Janganlah engkau membuka rahasianya dan janganlah engkau menentang perintahnya. Karena, jika engkau membuka serta menyebarkan rahasianya, maka ia pun mengkhianatimu. Dan jika engkau menentang perintahnya, berarti engkau telah memancing amarahnya. Berhati-hatilah, jangan sampai engkau menampakkan kegembiraan ketika suami sedang bersedih, dan menampakkan kesedihan ketika suami sedang gembira. Karena, yang pertama dapat menyinggung perasaannya, sedangkan yang kedua dapat mengurangi kebahagiaannya.
Sebesar apa engkau sangat menghormati suami, sebesar itu pula engkau akan dimuliakan oleh suamimu. Ketika engkau selalu menaati suami, suami pun akan selalu menyayangimu. Ketahuilah olehmu, wahai putriku, engkau tidak akan mampu melakukan itu semua, sampai engkau dapat lebih mendahulukan ridha suami daripada ridhamu sendiri, mendahulukan keinginannya daripada keinginanmu sendiri, baik pada sesuatu yang engkau sukai ataupun tidak. Maka, pasti Allah akan memberikanmu kebaikan, dan sekarang aku titipkan dirimu kepada Allah."
Ketahuilah, wahai saudariku mukminah, bahwa suamimu tidak akan mencintaimu kecuali ia dapat merasakan rasa cintamu kepadanya. Karena cinta itu adalah perasaan yang saling memberi. Setiap orang pasti akan condong untuk mencintai orang yang mencintai dan memberi perhatian kepadanya.
Apakah artinya cinta dalam kehidupan berumah tangga (suami istri); ia adalah keikhlasan, ketaatan, memberi dan lebih mendahulukan pasangan. Cinta adalah mendahulukan hak suami daripada hakmu sendiri.
Saling menghormati saling memberi, memanggil dengan panggilan yang paling manis dan disukai, dan senyum di wajah adalah perkara-perkara yang dapat membukakan pintu cahaya yang sejati dan kebahagiaan yang hakiki bagi sang istri. Oleh karena itu, sudah seharusnya suami menjadi orang yang paling dicintai oleh istri.
Ingatlah wahai istri, perkataan seorang laki-laki ketika ia berkata, “Apa yang akan dikatakan seorang istri tentang suaminya yang telah meninggalkan semua perempuan dan memilih dirinya sebagai istrinya? Apa yang akan dilakukan seorang istri kepada suaminya yang telah meninggalkan kedua orang tuanya, keluarga, dan teman-temannya, dan tidak ada yang dapat membuatnya ridha dan senang kecuali istrinya?”
Wahai istri, engkau adalah sumber kesenangan suami, engkaulah teman setianya, engkau kekasihnya, alangkah jelasnya ungkapan Al-Qur’an ini:
“….Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…” (Al-Baqarah [2] : 187)